Menikmati
Dange di Mandalle
Kabupaten Pangkep adalah
salah satu kabupaten diSulawesi Selatan yang memiliki kekayaan kuliner yang beragam.
Salah satu yang disebut-sebut menjadi kuliner asli masyarakat Pangkep adalah
Dange dan Sop Saudara. Jika Sop Saudara adalah makanan yang bisa ditelusuri
asal usul penciptaannya, Dange seperti halnya kue-kue tradisional merupakan
warisan kuliner yang hidup dan berkembang turun temurun dalam masyarakat,
sehingga sangat sulit untuk menemukan siapa pencipta makanan ini.
Dange biasanya
dapat ditemukan di warung-warung kopi tradisional yang tersebar di berbagai
wilayah di Pangkep. Tetapi tentu saja karena dange hanya sebagai pelengkap,
tidak setiap saat Anda bisa mendapati dange di tempat tersebut. Barangkali hal
inilah yang dilihat sebagai peluang untuk membuat warung khusus yang
menyediakan dange.
Puang haji Bora adalah nama salah satu tokoh
yang dianggap sukses memperkenalkan Dange sebagai sebuah kekayaan kuliner
Pangkep. Melalui warung “Sabah” yang mulai dirintisnya pada tahun 2000an, ia
berhasil menjadikan Mandalle—tempat warungnya berada sebagai tempat favorit bagi
penikmat kuliner untuk bersantai menikmati Dange yang disajikan hangat.
Kini, Mandalle sudah identik dengan Dange. Kita bisa menjumpai berbagai warung-warung yang
menjajakan Dange di tepi jalan trans Sulawesi. Lokasi Mandalle yang strategis sebagai jalur lalu lintas
trans-Sulawesi membuat banyak masyarakat yang mampir untuk menikmati Dange.
Umumnya warung-warung Dange di Mandalle menggunakan nama-nama angka untuk
mengindentifikasi nama warungnya, alasannya biar gampang dikenali.
Saya pernah
mencoba dange yang dijual di warung-warung Mandalle ini dan warung Sabah yang juga
berada di Mandalle, terdapat beberapa perbedaan. Di warung Sabah, Dange dibuat
saat ada pemesan sedangkan di warung lainnya, dange biasanya sudah jadi dan
ditempatkan di dalam termos untuk menjaga agar dange tetap hangat. Selain itu, dange di warung
Sabah, terasa lebih lembut dibandingkan dange yang ada di warung-warung
lainnya.
Dange adalah
makanan yang terbuat dari beras ketan hitam sebagai bahan utamanya, masyarakat
bugis menyebutnya pulu’ bolong. Dange juga menggunakan gula are dan kelapa
sebagai tambahannya. Kini, beberapa varian Dange mulai hadir seperti Dange rasa keju. Bentuk
dange mirip kue pancong (buroncong), walaupun tentu saja dari segi rasa dan
tekstur akan jauh berbeda karena bahan bakunya beda.
Dalam beberapa
keterangan disebutkan jika sejarah dange juga berhubungan dengan masa perang
kemerdekaan. Dange disebut merupakan salah satu makanan yang menjadi primadona
dimasa perang kemerdekaan dahulu, karena bisa menjadi bekal yang simpel serta
tahan lama. Barangkali keterangan ini
ada betulnya. Saya sendiri merasa kekenyangan jika mengasup 3-4 dange, dan juga
kenyangnya awet.
Komentar
Posting Komentar